Umar Ibnu al-Khathab dan Pelajaran Darinya (1)

Bagi pengkaji peradaban Islam, diketahui bahwa perubahan signifikan dan fundamental telah diwujudkan agama Islam yang mulia ini, perubahan yang meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Islam mampu mendorong manusia untuk mengubah diri mereka, mengubah segala sesuatu yang diwarisi dari orangtua dan nenek moyang mereka, baik dalam sikap, perilaku, keyakinan, sosial, politik, ekonomi,[1] dan sains, sehingga sesuai dengan tuntunan Allah Swt. untuk manusia dan mampu berlaku bijaksana dengan amanah yang Allah Swt. berikan kepada manusia.

Sains dalam tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai akar masalah dan solusi utama terhadap permasalahan yang terjadi dalam masyaraka. Sebab worldviewlah (cara pandang terhadap Tuhan, alam semesta, kehidupan, ilmu, moralitas, agama, dan lainnya) yang menempati posisi itu; melainkan berarti sains berada dalam ketidaktepatan implementasinya serta tercabut dari makna sejatinya. Dalam Islam, syari’ah ialah sumber utama dari sistem nilainya, sehingga pengamalan sains dalam berbagai tindakan dan tujuan manusia mesti dipandu oleh struktur nilai menurut syari’ah.

Dalam sistem nilai ini, setiap tindakan manusia dinilai menjadi lima kategori berikut ini: 1) wajib; 2) sunnah atau dianjurkan; 3) terlarang atau haram; 4) tidak disukai atau makruh; dan 5) dibolehkan atau mubah.[2] Namun kini, di masa peradaban Barat menghegemoni dengan sains dan teknologi, umat Islam mesti mengkajinya agar tidak tersesat atau terperosok dalam kesalahan.

Perkembangan Ilmu

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari pandangan bahwa alam semesta tidak tergantung pada apapun dan kekal (tidak diciptakan), suatu sistem yang berdiri sendiri, dan berkembang menurut hukumnya sendiri. Dengan kata lain berarti penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan. Metode-metodenya terutama ialah rasionalisme filosofis, rasionalisme sekuler, dan empirisme filosofis.[3] Dan tantangan dari Barat muncul dalam bentuk seperti sekularisme, neo-kolonialisme, orientalisme, postmodernisme, prularisme, liberalisme, relativisme, dan lainnya.

Kemudian, dalam periodisasi sejarah, ada masa dimana umat Islam menyebutnya sebagai masa keteladanan, sebab masa itu diisi oleh banyak orang mulia beserta kegigihan perjuangannya, terutama Rasulullah Saw.. Beliau Saw. senantiasa totalitas dalam melaksanakan apa yang Allah Swt. perintah dan menjauhi apa yang Allah Swt. larang selaku Nabi dan Rasul-Nya.

Disisi beliau Saw. ada para sahabat yang setia mendampingi, menolong, melindungi, dan menyokong ikhtiar dan do’a beliau sehingga kaum musyrikin masa itu bisa memeluk Islam sebagai agamanya, meninggalkan segala bentuk kesyirikan, menghapus kejahilan dengan adab dan ilmu yang membangunkan jiwa-jiwa yang telah lama tidur dan menjadikan manusia yang sejatinya. Setelah beliau kembali kepada Allah Swt., estafet dakwah diteruskan oleh para sahabat dan tampuk kepemimpinan umat Islam diamanahkan kepada Khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-Shiddiq, kemudian dilanjut Umar ibnu al-Khaththab, lalu Usman ibnu Affan, terakhir Ali ibnu Abi Thalib. Pada tulisan ini, figur yang didaras ialah Umar ibnu al-Khaththab, dimana perjalanan hidup beliau banyak yang tertulis dalam berbagai literatur bahkan sudah difilmkan dan populer di kalangan umat Islam. Melalui biografi Umar ibnu al-Khaththab, Penulis berusaha menemukan nilai-nilai etis untuk mengevaluasi fenomena sains masa kini yang dinilai sekuler atau menepikan/menghilangkan Tuhan dari aktivitas peradaban manusia.

Mengenal Sekilas Sosok Umar Ibnu al-Khaththab

Umar ibnu al-Khaththab ibnu Nufail ibnu Abdul Uzza ibnu Riyah ibnu Abdullah ibnu Qurth ibnu Razah ibnu Adi ibnu Ka’ab. Ibunya ialah Hantamah binti Hisyam ibnu al-Mughirah ibnu Abdullah ibnu Umar ibnu Makhzum. Umar termasuk salah seorang bangsawan Quraisy. Zaman Jahiliyyah, beliau senantiasa diutus ke luar negeri untuk diplomasi. Jika terjadi peperangan antara kabilah Quraisy dengan kabilah lain, Umar kerap kali dipilih menjadi perantara. Kalau terpaksa bertanding, beliau sanggup mempertahankan kemuliaan dan kemegahan kabilahnya.

Ketika Rasulullah Saw. diutus, Umar termasuk salah seorang diantara musuh-musuh kaum muslimin yang keras sekali.[4]\Berkenaan istri dan anak-anak beliau, Ibnu Katsir berkata, “Jumlah anak Umar ada tiga belas orang, yakni Zaid (sulung), Zaid (bungsu), Ashim, Abdullah, Abdurrahman (sulung), Abdurrahman (pertengahan), az-Zubair bin Bakkar atau Abu Syahmah, Abdurrahman (bungsu), Ubaidullah, Iyadh, Hafshah, Ruqayyah, Zainab, Fathimah. Sedangkan, jumlah perempuan yang pernah Umar nikahi pada masa Jahiliyyah dan Islam baik yang diceraikan maupun ditinggal wafat sebanyak tujuh orang.”.[5]

Setelah Keislaman Umar

Setelah keislamannya, Umar ibnu al-Khaththab memiliki gelas al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan)[6], sebab kepribadiannya menjadi lebih terasah dan lebih bersinar daripada masa sebelum keislamannya. Dalam Islam, beliau bisa menemukan kecerdasan dan pedomannya. Bidangnya bukan lagi patung-patung bisu disekeliling Ka’bah atau urusan-urusan tidak bernilai di kota Mekah. Tetapi berubah, aktivitasnya berkaitan dengan “langit dan bumi” atau “abdullah dan khalifatullah”.

Titik sentral perjuangan beliau ialah agama yang dipahaminya dengan kecerdasan yang cemerlang; bahwa beliau tidak akan berhenti di daerah gurun dan unta, melainkan agama ini akan terus menyebar ke wilayah Timur dan Barat hingga dunia ternaungi didalamnya.[7] Terbukti, dibawah komandonya, perluasan daerah Islam mengalami kesuksesan yang gemilang. Pada masanya kekuatan-kekuatan yang bercokol lama di belantika peradaban dunia, seperti Persia dan Romawi, tunduk dihadapan umat Islam.

Banyak hal yang menjadikan Umar memiliki keistimewaan dalam luasnya cakrawala ilmu pengetahuan dan keberanian dalam memperluas medan kerja akal. Misalnya saat beliau berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada ketetapan nashnya; pasti beliau berusaha untuk mengidentifikasi kemaslahatan yang menjadi motivasi ketetapan nash dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; kemudian menjadikan kemaslahatan yang teridentifikasi tersebut sebagai petunjuk dalam menetapkan hukum.[8] Dan masih banyak kisah tindakan-tindakan bijaksana beliau yang bisa ditemukan dalam berbagai literatur biografi Umar ibnu al-Khaththab.

Bersambung…

[1]     Prof. Dr. Raghib as-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), hal. 421-422.

[2]     Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), hal. 64-65.

[3]     Dr. Wido Supraha, Pemikiran George Sarton dan Panduan Islamisasi Sains (Depok: Yayasan Adab Insan Mulia, 2018), hal. 35.

[4]     Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara (Jakarta: Gema Insani, 2016), hal. 161.

[5]     Abu Ihsan al-Atsari, Masa Khulafa’ur Rasyidin (Jakarta: Dar Haq, 2004), hal. 170.

[6]     Majdi Fathi Sayiyd, Mari Mengenal Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal. 25.

[7]     Syaikh Khalid Muhammad Khalid, 5 Khalifah Kebanggaan Islam (Jakarta: Akbar Media, 2011), hal. 73-74.

[8]     Dr. Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab (Jakarta: Khalifah, 2005), hal. 22.

oleh: Taufik Hidayat

Tulisan ini telah tayang di https://rahma.id/umar-ibnu-al-khaththab-dan-pelajaran-darinya-1/

Tinggalkan komentar